satumalukuID- Pemerintah Kota (Pemkot) Ambon kembali membongkar paksa Pasar Apung yang berdiri di sepanjang bibir pantai kawasan pasar Mardika, Kecamatan Sirimau, Kota Ambon, Sabtu (24/10/2020).
Pantauan satumaluku.id siang hari tadi, lapak-lapak pedagang kaki lima (PKL) diratakan menggunakan satu unit alat berat. Puing-puingnya, diangkut sejumlah truk sampah untuk dibuang.
Pembongkaran dijaga ketat aparat keamanan dari Satuan Polisi Pamong Praja (Satpol Pp) Kota Ambon, dibantu TNI dan Polri. Tak ada perlawanan sedikitpun dari para PKL.
“Tadi dibongkar sekitar pukul 10.00 WIT. Tidak ada perlawanan. Mungkin karena dari Pemkot sudah sosialiasi. Tadi apel pengamanan dipimpin Kabag Ops (Polresta Pulau Ambon dan Pulau-Pulau Lease),” kata seorang anggota polisi ditemui satumaluku.id di Pasar Mardika.
Dari seberang jalan, La Muin, seorang PKL terlihat menatap lapaknya yang sedang dibongkar. Tatapannya hampa, seakan memikirkan nasib keluarganya nanti setelah pembongkaran tersebut.
Warga Air Besar, Desa Batu Merah, Kota Ambon ini mengaku telah berdagang sejak tahun 1999 silam. Dia kemudian menempati lapak itu di massa kepemimpinan Wali Kota Richard Louhenapessy dan Sam Latuconsina.
“Sudah lama. Kecil (anak) tiga orang sampai sudah lulus SMA. Kalau lapak ini baru saja. Bagitu Sam dan Richard naik, lalu Sam bangun pasar apung ini,” kata Muin kepada satumaluku.id.
Muin yang tampak menjual sembako ini mengaku tidak senasib dengan sejumlah rekannya yang lain. Mereka sudah mendapatkan lapak pengganti di Passo, dan tempat lainnya. Sementara dirinya, hingga saat ini belum mendapatkan tempat dari pemerintah.
“Belum dapat tempat. Beta juga tidak tahu, katong (kami) dapat juga apa tidak. Banyak yang belum dapat,” kata Muin, dibenarkan La Tandi yang juga sedang melihat lapaknya dibongkar.
Muin mengaku sejumlah rekannya sudah mendapatkan tempat dan banyak juga yang belum dapat. Tapi sebagian besarnya belum menempati pemberian pemerintah seperti di Pasar Passo.
“Banyak yang sudah, banyak lai yang belum. Yang su dapat juga banyak yang seng ke sana. Mereka masih jualan di sini,” terangnya.
Muin mengaku belum dapat lapak saat disuruh undi nomor dirinya masih menolak karena bingung dengan ketentuan dan kesimpangsiuran informasi.
“Tiba-tiba langsung di suruh ke Passo kan katong agak pikir-pikir lai to. Katong pikir katong tinggal di Batu Merah,” ungkapnya.
Menyoal jika dipindahkan ke Passo, Muin mengaku belum bersedia. Sebab, dirinya menghitung-hitung biaya transportasi, menyusul makanan dan sebagianya bisa habiskan modal.
“Kalau hitung-hitung setiap hari itu paling kecil 40-50 ribu habis. Perjalanan dari sini ke sana berapa, biar ada motor lai, tapi masalahnya bensin. Jadi memang kalau beta pribadi seng bersedia kalau pindah pasar di sana (Passo),” terangnya.
Meski menolak ditempatkan di Passo, tapi Muin masih berharap adanya solusi dari pemerintah yang tidak merugikan mereka.
“Mudah-mudahan ada solusi par katong orang kacil ini,” harapnya.
Setelah dibongkar, Muin mengaku akan tetap berjualan. Sebab, setiap hari dirinya harus menghidupkan keluarganya.
“Setiap hari ini katong makan tarus, seng makan seng bisa hidup. Makanya biar apapun lai katong tetap harus berjual saja,” katanya.
Sementara itu, La Taadi, pedagang lainnya, juga sama seperti La Muin. Penjual sayuran seperti tomat, cili dan sebagainya itu hanya terlihat hanya bisa mengungsikan jualannya. Warga Desa Batu Merah ini juga mengaku belum mendapat nomor undian dari pemerintah.
“Seng tau lai. Katong masih dapat tempat atau tidak,” kata La Taadi pasrah.