“Bupati harus tegas supaya tidak menjadi preseden buruk di kemudian hari. Memastikan proses rekonstruksi dan rehabilitasi di sana. Mau sampai berapa lama, mereka harus kembali. Semua harus damai lagi, hati yang panas itu mulai lagi diturunkan,” tegas Akademisi Sosiologi IAIN Ambon, Abdul Manaf Tubaka, Jumat (11/2/2022).
Menurut dia, kedua kampung tersebut perlu dievaluasi, karena ada yang salah dari sisi pola interaksi sosial di sana.
“Ini banyak pengelompokan ya kalau dilihat. Bagi saya ini adalah presede buruk bagi tatanan kehidupan orang basudara yang sudah kita bangun dengan senantiasa menjaga rasa saling percaya,” kata Tubaka.
Ia menerangkan, persoalan tapal batas semestinya tidak sampai membawa-bawa identitas apa pun, termasuk Agama. Tubaka menekankan, agar segera menghilangkan perspektif agama maupun suku.
“Saya kira semua orang memahami itu. Kita hilangkan perspektif agama. Jadi kalau itu mau dibawa-bawa ke agama, saya kira itu keliru sekali. Sebagai orang ‘basudara’ kita mencederai bangunan hidup kita, tanah pusaka, serta tatanan orang ‘basudara’, itu mesti dievaluasi lagi,” jelasnya.
Manaf mengatakan penyelesaian damai terkait tapal batas, baiknya melalui prosedur hukum di pengadilan, yang mampu menyelesaikan hal-hal seperti ini dengan kedewasaan.
“Jadi misalkan ini soal tapal batas, penyelesaiannya itu dibawa ke pengadilan. Jadi itu pendataan namanya, disertakan hak kepemilikan itu soal tapal batas,” ungkapnya.
Manaf berharap semua dapat kembali pulih, tidak lagi saling membangun narasi atas dasar kebencian. Karena itu, lanjutnya, dapat kembali membangun hidup damai.
“Saya berharap semua bisa selesai, semua stakeholder, pemerintah Provinsi, kabupaten, pemerintah pusat, lebih peka lagi untuk selesaikan hal ini. Orang harusnya lebih belajar dari kita baagaimana kita membangun kehidupan dalam perbedaan,” katanya.