satumalukuID – Persoalan konfilik antara Dusun Ory Negeri Pelauw dan Negeri Kariuw di Pulau Haruku Maluku Tengah yang berujung aksi penyerangan terhadap Kariuw, turut dibahas dalam Sidang Majelis Pekerja Lengkap (MPL) Persekutuan Gereja-gereja di Indonesia (PGI) tahun 2022.
Sidang MPL tahun 2022 tersebut berlangsung tanggal 28-31 Januari 2022 dihadiri 372 orang pimpinan gereja dan lembaga mitra secara luring maupun daring di Tahuna, Kabupaten Kepulauan Sangihe, Sulawesi Utara. Sebagai tuan rumah adalah Gereja Masehi Injili Sangihe Talaud (GMIST).
Sekretaris Umum (Sekum) PGI, Pdt Jacky Manuputty STh yang dihubungi media ini Jumat (4/1/2022), mengatakan, Sidang MPL-PGI tahun ini bergelut dengan pikiran pokok “Spiritualitas Keugaharian: Membangun Keadaban Publik demi Pemeliharaan Bumi sebagai Sakramentum Allah” dengan Tema: Aku adalah yang Awal dan yang Akhir (Wahyu 22:12-13).
“Pikiran pokok tersebut ingin menegaskan tiga hal, yang kemudian menjadi pesan sidang MPL-PGI 2022 yaitu: spiritualitas ugahari, keadaban publik, dan pemeliharaan bumi sebagai sakramentum Allah,” ungkap mantan Ketua Badan Litbang Sinode GPM ini.
Persidangan juga dimaksudkan untuk berdoa bersama, merayakan kasih dan pimpinan Tuhan bagi gereja-gereja di masa sulit akibat pandemi Covid-19, serta membicarakan kegiatan pelayanan gereja-gereja di Indonesia.
MASALAH KARIUW
Menurut Manuputty, Sidang MPL PGI juga turut berbelarasa dan prihatin mengenai tindakan kekerasan dan penyerangan terhadap warga Negeri Kariuw, Pulau Haruku, Maluku Tengah, yang menyebabkan mereka keluar dari tanah pusakanya dan menjadi pengungsi di Negeri tetangga, Aboru.
Untuk itu, persidangan mendesak berbagai pihak agar tidak melihat konflik ini sebagai konflik agama, tetapi memahaminya sebagai kejahatan kemanusiaan yang menciderai relasi-relasi sosial di Maluku dan dapat berdampak luas (nasional dan internasional), jika tidak ditangani secara tepat.
“Belajar dari kekerasan serupa yang terjadi di masa lalu, kita perlu mewaspadai meluasnya konflik, termasuk akibat dieksploitasinya isu-isu keagamaan dan pemilikan senjata ilegal oleh masyarakat sipil,” ungkapnya.
Terkait dengan itu, lanjut Manuputty, upaya-upaya rekonsiliasi harus dibangun di atas pengungkapan kebenaran dan penegakan hukum untuk mencegah impunitas dan keberulangan konflik di masa depan serta mengembalikan warga masyarakat Kariu ke tanah pusakanya.
Selain itu, lanjutnya, sidang MPL juga memberi perhatian serius terhadap kekerasan yang masih saja terjadi di Papua dalam beberapa waktu terakhir ini.
Secara khusus, perhatian diberikan kepada korban kekerasan seksual kepada perempuan dan anak, serta terhadap masyarakat luas yang terpaksa mengungsi dari kampung-kampung mereka karena terancam kekerasan bersenjata dalam operasi keamanan.
Kekerasan di Papua akibat konflik berdampak pada pengungsian besar dari empat wilayah konflik di Nduga, Intan Jaya, Puncak Papua dan Kiwirok Pegunungan Bintang.
Sidang menyuarakan dan mendesak dialog demi perdamaian menyeluruh di Tanah Papua. Juga mendorong dihentikannya stigma kepada para pemimpin agama di wilayah konflik sebagai separatis.
“Pelayanan pastoral mereka dalam kondisi konflik yang melewati batas-batas ideologi politik mesti dihargai,” tuturnya.
PESAN POKOK LAIN
Pokok lain dari Sidang MPL PGI 2022 adalah yang berkaitan dengan keadaban publik mengenai pentingnya pendidikan politik bagi warga gereja dan pimpinan gereja.
Gereja perlu memainkan peranan penting dalam pendewasaan berdemokrasi di Indonesia, menjadi pilar yang menolak praktek politik uang dan politik sektarian, terutama menuju Pemilu dan Pilkada Serentak 2024.
Sidang juga memberi perhatian secara khusus mengenai keadaban publik di ruang virtual. Ruang virtual harus menjadi ruang kesaksian dan partisipasi gereja demi masyarakat yang beradab.
Seringkali ruang virtual menjadi riuh oleh debat dan polemik keagamaan yang saling menciderai, baik antar agama maupun antar denominasi dan kelompok. Kegaduhan di ruang virtual lalu menjadi spirit negatif dalam relasi di ruang fisik.
Keadaban publik berkaitan juga dengan kemandirian ekonomi dan pemberdayaan manusia.
Sidang ini mendorong gereja-gereja di Indonesia untuk bekerja sama antar gereja anggota, maupun dengan pemerintah dan berbagai mitra lainnya untuk kedaulatan hidup masyarakat, terutama di daerah-daerah yang tertinggal dan rawan dieksploitasi.
Dalam rangka itu, sidang mendesak pemerintah agar memberikan perhatian terhadap daerah-daerah yg tertinggal dalam aspek ekonomi, pendidikan, dan sumber daya manusia untuk diberikan prioritas dalam program peningkatan kesejahteraan.
Daerah-daerah itu, antara lain, daerah perbatasan, pinggiran, dan pedalaman di Papua, Kalimantan, Maluku, NTT, serta Kepulauan Sangihe dan Talaud, Sulawesi Utara. (NP)