satumalukuID – “Paskah Kristus: Ada Kuasa di Balik Batu yang Terguling” (Lukas 23:56b-24:1-12). Itulah tema Paskah Gereja Protestan Maluku (GPM) tahun 2022.
Secara tekstual, injil Lukas menjadi sumber inspirasinya, dan secara kontekstual adalah beban-beban sosial, ekonomi, politik dan keagamaan yang dialami warga gereja dan masyarakat secara khusus di Maluku dan Maluku Utara, sebagai representasi kehidupan masyarakat di Indonesia.
Para ahli Perjanjian Baru (PB) menyatakan bahwa dalam injil Lukas terdapat enam dimensi penderitaan masyarakat dalam injil Lukas, meliputi ekonomi, sosial, politik, fisik, psikologis dan spiritual.
Injil Lukas mengurai cerita keberpihakan Yesus kepada kaum marginal. Ia melakukan advokasi sosial berdasar empaty dari hati yang luhur. Suatu cara-Nya ada dan hadir di tengah beragam penderitaan manusia.
Ia membela mereka yang dideskreditkan oleh hukum yang manipulatif, memulihkan orang sakit yang diisolasi jauh dari pemukiman dan keluarganya, bebaskan perempuan yang sakit pendarahan dan puluhan tahun menanggung beban stigma spiritual sebagai yang najis.
Ia bangkitkan anak muda sekaligus mengangkat harkat ibunya yang janda dari beban ekonomi. Keberpihakan Yesus itu berpuncak pada penderitaan-Nya, sampai mati disalibkan.
Dengan cerita penderitaan Yesus, penulis injil Lukas mengajak kita memahami penderitaan kaum marginal dalam spirit misi atau tanggungjawab sosial gereja secaraa real. Sebab bagi Lukas, dari enam dimensi penderitaan tadi, ada orang yang mengalaminya secara ganda. Contoh seorang perempuan yang sakit pendarahan (Luk. 8:40-48).
Sebagai seorang yang berprofesi dokter, Lukas pahami kondisi itu secara gamblang. Namun perempuan itu alami penderitaan fisik (sakit) selama puluhan tahun.
Ia tidak pernah mengalami kesembuhan sebagai dampak dari penderitaan ekonomi (miskin), karena itu tidak miliki akses pengobatan yang layak. Juga memiliki keterbatasan dalam pergaulan sosial sebab jenis penyakit itu telah dikategorikan sebagai yang cemar/najis dalam hukum Yahudi (bd. Imamat 15:25-33).
Berdasarkan pemahaman itu, maka peristiwa kebangkitan Yesus digambarkan penulis Injil Lukas sebagai suatu “gerakan pembebasan” atau lebih tepatnya “pemanusiaan manusia”.
Gerakan itu terjadi oleh adanya suatu kuasa yang besar di dalam kubur Yesus, dan kuasa itu adalah kuasa yang menghidupkan. Kuasa itu tidak terkurung di dalam alam maut, melainkan berjuang di dalam alam maut.
Artinya kuasa itu tidak mati, kuasa itu bersifat operatif, bekerja atau lebih tepatnya berjuang patahkan belenggu kuasa maut. Maut adalah gambaran tentang kuasa yang besar dan tidak bisa dikendalikan oleh siapa pun.
Karena itu dengan menang atas kuasa maut, maka Lukas hendak nyatakan bahwa tidak ada kuasa yang lebih besar dari kuasa Tuhan, dan buktinya adalah Yesus yang mati itu bangkit.
Atas iman itu, penulis injil Lukas menulis begini: “Mengapa kamu mencari Dia yang hidup, di antara orang mati?” (Lukas 24:5b). Pertanyaan itu bersumber dari keyakinan dasar bahwa Yesus hidup di antara orang mati.
Artinya kebangkitan-Nya terjadi oleh sebab Ia hidup dan kuasa di dalam-Nya adalah kuasa kehidupan, kuasa yang menghidupkan.
Kuasa itu yang menjadi alasan bahwa Yesus hidup, meskipun Ia berada di antara orang mati. Ia ada di antara mereka namun Ia tidak mati, melainkan Ia berjuang untuk menyatakan kekuasaan-Nya atas kematian dan maut itu.
Itulah sebabnya, iman kepada kebangkitan Yesus menuntun kita percaya dan berpaut pada kuasa yang menghidupkan. Kekuasaan yang terjadi di dalam kubur itu adalah kekuasaan Tuhan.
Jadi Yesus bangkit dari kematian sebab Ia hidup, bahkan di antara orang mati di alam maut. Kehidupan di dalam kubur itu menjadi alasan batu kubur itu sudah terguling dari pintu kubur tersebut. Ada kuasa di dalam kubur itu, dan kuasa itu yang menggulingkan batu itu.
Makna ini yang menuntun kita dalam perayaan Paskah tahun 2022. Bahwa kita hidup di tengah-tengah berbagai tantangan, masalah, dan penderitaan kemanusiaan. Pandemik Covid-19 adalah salah satu wujud penderitaan di samping penderitaan secara ekonomi, politik, sosial, fisik, psikologis, dan spiritual.
Kita alami semua itu secara ganda. Pandemik Covid-19 membuat banyak orang miskin karena kehilangan pekerjaan dan kesulitan-kesulitan ekonomi sebagai dampak global.
Dalam konteks politik, kita berada dalam suatu masyarakat yang mudah terbelah. Pertarungan kepentingan elite politik tidak segan-segan diperjuangkan dengan membelah masyarakat ke dalam faksi-faksi tertentu.
Bahkan bukan hanya demi jabatan, tetapi untuk kuasai sumber daya alam oleh korporasi yang berkelindan dengan kekuasaan dilakukan juga benturkan masyarakat adat. Konflik-konflik agraria bukan hanya nyaris tak terhindarkan tetapi tidak diselesaikan secara tuntas oleh alat negara dan lembaga hukum.
Pada sisi hubungan sosial, kesenjangan ekonomi membuat lebar jarak interaksi masyarakat. Orang-orang miskin, termasuk di pedalaman tetap saksikan kemakmuran virtual melalui perluasan jaringan komunikasi informasi. Kemakmuran virtual itu buat mimpi melambung tanpa sadar bahwa mereka sedang dililit kemiskinan faktual.
Mereka saksikan bagaimana ikan diolah di pabrik, kayu dijadikan meubeler mahal dan komoditi ekspor internasional, dan sejenak lupa dengan kemiskinannya, lalu tanpa sadar, hak ulayat mereka sudah berpindah kepemilikan.
Beban trauma dialami banyak orang termasuk mereka yang hidup sebagai pengungsi. Angka kekerasan terhadap perempuan dan anak, termasuk dalam bentuk kekerasan seksual masih terus terjadi. Trauma karena kehilangan pekerjaan, ditambah ketidaksanggupan penuhi kebutuhan dasar membuar orang hilang harapan dan mencari cara-cara instant untuk mengatasi bebannya.
Krisis spiritual terjadi karena kesalehan pribadi lebih diutamakan daripada peran sosial yang proaktif bebaskan sesama dari tekanan masalahnya. Karena itu aktivitas keagamaan lebih diarahkan pada kesalehan pribadi dan bukan tanggungjawab sosial agama kepada umat manusia dan lingkungan hidup. S
etiap ada bencana, yang dicari dan dihakimi adalah dosa, bukan sebaliknya berusaha pahami apa kehendak Tuhan melalui tanggungjawab sosial kepada sesama dan lingkungan hidup.
Semua itu menjadi beban sosial bersama dan realitas misi gereja dalam semangat kebangkitan Yesus. Karena itu tema “Paskah Kristus: Ada kuasa di balik batu yang terguling” adalah seruan misi GPM bahwa iman pada Paskah menyuruh gereja membebaskan belenggu dan ikatan-ikatan “maut” yang menghimpit manusia dan lingkungan hidup.
Kuasa yang menggulingkan batu itu adalah kuasa yang menghidupkan dan yang memulihkan. Gereja harus bertindak atau bermisi atas dorongan kuasa itu, dengan tidak perlu takut pada kuasa dan belenggu apa pun.
Gereja yang mengimani Kristus bangkit adalah gereja yang harus melayani di tengah resiko apa pun, sebab gereja adalah entitas yang hidup diantara dan di tengah-tengah masalah dan resiko untuk bebaskan manusia dan alam semesta.
Selamat merayakan Paskah Kristus tahun 2022. Tuhan memberkati kita semua.
(Pdt Elifas Tomix Maspaitella STh, Ketua MPH Sinode GPM)