satumalukuID – Maluku adalah salah satu provinsi yang memiliki kekayaan alam melimpah. Sejak abad ke-17 Maluku yang disebut “The spices island” oleh bangsa Eropa diburu karena kekayaan rempah pala dan cengkeh yang berlimpah.
Tapi itu dulu, saat harga pala dan cengkih lebih mahal dari emas dan berlian. Saat ini rempah-rempah sudah tidak dilirik karena harganya yang anjlok di pasaran serta kualitasnya kalah dari daerah maupun negara lain.
Kekayaan Maluku tidak semata-mata yang dikandung di daratan yang hanya seluas tujuh persen dari keseluruhan wilayah Maluku seluas 712.480 km persegi, sedangkan sisanya 93 persen lebih adalah laut yang menyimpan berbagai sumber daya alam (SDA) melimpah dan menjanjikan masa depan.
Laut yang begitu luas dan kaya beragam sumber daya hayati, sudah seharusnya menjadi sumber utama penggerak seluruh sektor pembangunan dan kesejahteraan masyarakat di Provinsi Maluku, yang tergolong miskin ke-4 di Tanah Air itu.
Ibarat wanita cantik, kawasan laut Maluku kini menjadi sangat “seksi, diincar berbagai pihak dalam dan luar negeri. Berbagai kebijakan dan program untuk mengoptimalkan pengelolaan SDA laut di Maluku, terus dilakukan pemerintah demi meningkatkan pendapatan negara dari sektor perikanan.
Laut Maluku yang kaya berbagai sumber daya perikanan tentu tidak terlepas dari budaya “Sasi”, sebuah pranata sosial untuk menjaga kelestarian ekosistem laut dan pesisir yang telah dilakukan turun-temurun sejak jaman leluhur.
Sasi merupakan tradisi kolektif masyarakat adat Maluku dan Papua untuk memberlakukan pelarangan terhadap pengambilan hasil panen dalam jangka waktu tertentu.
Tradisi sasi merupakan hukum adat yang melarang pengambilan hasil sumber daya alam (SDA) tertentu di wilayah adat, sebagai wujud pelestarian alam dan menjaga populasi. Ia menjadi praktik cerdas masyarakat adat di Maluku menjaga kelangsungan ekosistem laut, sekaligus sebagai penghormatan terhadap alam yang menjadi sumber penghidupan mereka.
Sasi Lompa di Negeri Haruku, Kecamatan Pulau Haruku, Kabupaten Maluku Tengah, mungkin merupakan salah satu praktik konservasi tradisional yang paling dikenal secara luas dan masih lestari hingga kini.
Paduan laut sungai
Sasi Lompa Haruku sudah dilakukan sejak tahun 1600. Merupakan perpaduan antara sasi laut dan sasi sungai. Sedangkan Lompa (trisina baelama) adalah ikan sejenis sardin yang dijaga di laut adat mereka. Tapi sebetulnya masyarakat Haruku mengenal empat jenis sasi: laut, hutan, sungai, dan sasi dalam negeri. Mereka sangat patuh melaksanakannya.
Tradisi itu, menurut kepala kewang (pemegang otoritas hukum adat) Haruku Eliza Marthen Kissya (73) merupakan jati diri masyarakat adat Haruku, sekaligus solusi dalam rangka pelestarian alam. “Kearifan lokal ibarat jati diri. Leluhur kami membuat aturan sasi. Kearifan lokal inilah yang kami pegang teguh hingga sekarang,” katanya.
Saat sasi di perairan dan kali (sungai) diberlakukan, maka sekitar 1 km perairan dan sepanjang sungai tak tampak aktivitas menangkap ikan. Siapa pun dilarang menangkap ikan.
Masyarakat membiarkan ekosistem itu kembali pulih hingga tiba saatnya untuk dipanen. Setahun sekali dalam upacara adat, ikan-ikan di pesisir itu “dipanggil” masuk ke badan sungai pada saat air laut sedang pasang maksimal, yang biasanya terjadi pada bulan September dan Oktober.
Setelah ikan masuk ke sungai, kewang atau penjaga alam di desa itu mengumumkan kepada semua masyarakat untuk boleh memanen ikan. Pengumuman pelepasan sasi itu dilakukan pada malam hari ke seluruh penjuru kampung. Paginya ikan bisa dipanen ribuan orang yang datang yang ditandai dengan doa Pendeta.
Sasi lompa kini menjadi agenda wisata tahunan, sekaligus juga mengantarkan Eliza yang akrab disapa Opa Elly menerima penghargaan Kalpataru pada 1985. Penghargaan itu menjadi bukti kecintaan dan keseriusannya menjaga lingkungan hidup di Haruku, termasuk menjaga harmoni antara manusia dengan sumber daya alamnya.
Lahir di Haruku pada 12 Maret 1949. Sosok opa Elly sangat sederhana, serta senantiasa bersenandung untuk menghibur para tamu yang datang ke Negerinya. Ia menjadi tokoh penting di balik tradisi yang sudah berlangsung sejak empat abad lampau itu, termasuk membagi kisah dan pengalamannya menjaga laut dan sungai kepada para peneliti dan pecinta lingkungan.
Dari ritual ke sustainability
Dosen Fakultas Ilmu Kelautan dan Perikanan (FPIK) Universitas Pattimura (Unpatti) Ambon, James Abrahamz, menjelaskan sasi adalah tradisi yang berhubungan dengan pelarangan untuk mengakses wilayah atau sumber daya tertentu.
Awalnya tradisi ini lebih banyak digunakan untuk keperluan ritual. Namun, seiring berjalannya waktu, pranata sosial ini juga disadari sebagai upaya sustainability (pelestarian berkelanjutan) untuk ekosistem laut, kendati pada beberapa tempat di Maluku telah mengalami pergeseran nilai.
“Praktik sasi mengalami pergeseran sejak masyarakat adat banyak berinteraksi dengan orang di luar adat, seperti LSM. Pergeserannya lebih banyak meliputi orientasi dan sistem sasi,” katanya.
Masyarakat adat dan LSM berdiskusi untuk menjadikan sasi sebagai keperluan sustainability. Keilmuan modern dipadukan dengan pengetahuan dimiliki masyarakat adat, sehingga orientasi sasi mengalami pergeseran ke arah sustainability yang lebih terarah.
Sedangkan perubahan pada sistem sasi yaitu dengan adanya pembagian wilayah sasi. Pertama ada wilayah yang diperuntukkan sebagai ‘bank ikan’ yang diperuntukkan memenuhi kebutuhan hidup masyarakat adat, serta ada yang diperuntukkan sebagai ‘wilayah sasi permanen’.
Sementara, ‘wilayah sasi permanen’ menjadi suatu wilayah yang tidak boleh seorang pun di luar masyarakat adat yang boleh menyentuhnya. Wilayah itu disebut ‘hak ulayat laut’, merupakan wilayah komunal adat untuk melindungi sumber daya di dalamnya.
Pergeseran lainnya yang terjadi yakni kepentingan ekonomi dalam penerapannya sasi di masyarakat. “Kalau dulu ada saat buka sasi warga hanya boleh mengambil hasil laut sesuai ukuran yang ditetapkan, tetapi karena kepentingan ekonomi masyarakat juga mengambil hasil di bawah ukuran ditetapkan,” katanya.
Ia mencontohkan saat pembukaan sasi lola di Kei Besar, Kabupaten Maluku Tenggara, warga hanya bisa mengambil lola berukuran empat jari orang dewasa, atau sekitar 7-8 cm, sehingga sustainability bisa dipertahankan.
Begitu juga warga Desa Batulei, di Kecamatan Aru Utara Timur, Kepulauan Aru, pemerintah negeri melakukan sasi teripang antara 2-3 tahun, saat sasi dibuka ternyata ukuran teripang yang dipanen antara 27 -30 cm. “Hasilnya sangat luar biasa dan bernilai ekonomi serta keberlangsungan stok alamnya tetap terjaga,” katanya.
Perlindungan masyarakat adat
Terlepas dari tata nilai sasi yang masih lestari, Yayasan Ekosistem Nusantara Berkelanjutan (EcoNusa Foundation) memandang saat ini terdapat urgensi perlindungan wilayah pesisir, pulau dan kawasan hutan di Indonesia, karena terancam aktivitas yang mengesamping pembangunan berkelanjutan.
“Ekspansi industri ekstraktif, privatisasi kawasan pesisir, pertambangan, sawit, tambak intensif mengancam pelestarian alam dan penyejahteraan masyarakat kita di pesisir, pulau kecil khususnya di kawasan timur Indonesia,“ kata Ocean Polecy Advocacy and Strategic Engagement Spesialis Yayasan EcoNusa, Midaria Novawanty.
Berkaitan dengan perlindungan itu maka organisasi nirlaba yang didirkan pada 21 Juli 2017 itu bersama Koalisi Organisasi Masyarakat Sipil (KORAL), menyampaikan masukan kepada pemerintah Indonesia dengan menyerahkan Kertas Kebijakan bertajuk “Urgensi dan Kewajiban Negara untuk Menjalankan Reforma Agraria di Wilayah Pesisir dan Pulau Kecil.”
Masukan itu disampaikan menyikapi penyelenggaraan Gugus Tugas Reforma Agraria (GTRA) Summit 2022 yang digelar Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN) di Wakatobi, Sulawesi Tenggara pada 8-10 Juni 2022.
Beberapa poin yang disampaikan, antara lain reforma agraria di wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil dalam konteks penataan aset dan akses harus didasarkan pada pemahaman mendalam terhadap hak komunal tata kelola lokal berkelanjutan, dan mempertimbangkan konflik-konflik agraria terjadi di pesisir dan pulau-pulau kecil.
Selain itu, diperlukan penyelesaian konflik-konflik agraria di wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil, termasuk dalam hal perluasan tambak udang, privatisasi bahari, penambangan di pulau-pulau kecil, ekspansi sawit di pulau kecil, reklamasi, dan tambang pasir laut.
“Saya ingin menegaskan juga bahwa sumber daya kelautan dan perikanan menyangkut hajat hidup orang banyak dan perlu dijaga keberlanjutannya. Maka itu Pemerintah harus memberikan kepastian hukum berupa kebijakan perlindungan, pengakuan dan penghormatan terhadap hak akses, hak kelola, hak pemanfaatan, hukum/aturan adat, praktik pengelolaan lestari oleh nelayan tradisional dan masyarakat pesisir dan juga masyarakat di laut,” katanya.
EcoNusa bersama mitra lokal aktif mendampingi masyarakat adat pesisir dan saat ini sedang menyusun rencana Peraturan Negeri (Perneg) tentang Perlindungan dan Pemanfaatan Sumber Daya Pesisir dan Laut di Wilayah Hatuhaha di Kecamatan Pulau Haruku, Kabupaten Maluku Tengah. Wilayah Pulau Haruku dibagi dua hak ulayat yaitu Uli Buang besi dan Uli Hatuhaha.
Selain itu, EcoNusa juga mendampingi masyarakat adat dalam memetakan 6 wilayah adat di Kabupaten Sorong dan Kabupaten Sorong Selatan yang luasnya mencapai 100 ribu hektare.
Terbitnya Peraturan Gubernur (Pergub) Nomor.25/2021 tentang Tata Cara Penetapan Pengakuan Masyarakat Adat dan Wilayah Adat dapat mengoptimalkan dan mengkoordinir proses pemetaan yang telah dilakukan oleh banyak pihak sehingga dapat terpusat dan terstandardisasi di satu peta wilayah adat.
Yang pasti EcoNusa bersama KORAl serta mitra lokal aktif terus bekerja keras mewujudkan kelestarian dan keberlangsungan sumberdaya laut, pesisir dan kawasan hutan di Indonesia, khususnya di Indonesia bagian timur yang menjadi tulang punggung ekonomi biru di Tanah Air.