Kepala DP3AMD Kota Ambon, Meggy Lekatompessy. -diskominfosandi ambon- |
satumalukuID - Jumlah kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak di Kota Ambon terus mengalami peningkatan.
Kepala DP3AMD Kota Ambon, Meggy Lekatompessy mengatakan, berdasarkan laporan Pusat Pelayanan Terpadu Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (P2TP2A) setiap tahun angka jumlah kasus naik.
Terbukti, sejak tahun 2017 kasus kekerasan terhadap perempuan berjumlah 13 kasus, 2018 (34 kasus), 2019 (40 kasus), 2020 (55 Kasus), 2021 (59 kasus), dan hingga Mei 2022 (21 Kasus).
“Jumlah kasus tersebut untuk kekerasan terhadap perempuan didominasi oleh kekerasan dalam rumah tangga, kemudian pemerkosaan, penganiayaan, hingga pencemaran nama baik,” ungkap Meggy, Rabu (14/9/2022) di Ambon.
Sementara untuk jumlah kasus kekerasan terhadap anak, lanjutnya, pada 2017 berjumlah 21 kasus, 2018; 28 kasus, 2019; 85 kasus, 2020;60 kasus, 2021;90 dan 2022 ;38 kasus.
“Dari data tersebut kekerasan seksual persetubuhan anak menempati urutan pertama, kemudian percabulan, kekerasan, kasus ITE, sampai bully atau perudungan,” jelasnya.
Dijelaskan, untuk faktor penyebab meningkatnya kasus tersebut perlu kajian khusus, namun ditengarai faktor ekonomi turut berpengaruh, apalagi di era Pandemi COVID-19.
“Saat Pandemi COVID-19 banyak orang tua kehilangan mata pencaharian karena PHK, anak-anak harus bersekolah dari rumah dan orang tua menggambil tatanggungjawab pendidikan semua ini berpengaruh terhadap peningkatan kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak,” tutupnya.
[cut]
OPTIMALKAN P2TP2A
Sementara itu, Pemerintah Kota (Pemkot) Ambon melalui DP3AMD mengoptimalkan keberadaan Kantor Pusat Pelayanan Terpadu Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (P2TP2A) sebagai rumah aman (shelter) bagi penanganan korban kekerasan perempuan dan anak.
“Dalam keterbatasan Pemkot Ambon yang belum memiliki Rumah Aman sesuai dengan standar, maka kita optimalkan kantor P2TP2A sebagai rumah aman korban kekerasan perempuan dan anak,” kata Meggy Lekatompessy, Rabu.
Dijelaskannya, saat ini ada 7 anak korban penelantaran dan kekerasan seksual yang tampung di P2TP2A.
“Untuk kasus penelantaran anak, ada 5 orang anak asal salah satu negeri di kabupaten Maluku tengah, dengan koordinasi berbagai pihak terkait telah berhasil dikembalikan ke orang tua, sementara 2 anak korban kekerasan seksual masih ditampung,” jelasnya.
Dikatakan, pihaknya tidak hanya menampung korban, tetapi juga melakukan pendampingan psikologis, juga dengan koordinasi lintas OPD sebagai suatu kesatuan.
“Pendampingan psikologis dilakukan terhadap korban termasuk untuk visum maupun kebutuhan lainnya yang memerlukan koordinasi lintas OPD ungkapnya.
Ia menandaskan dengan segala keterbatasan yang dimiliki, seluruh proses pendampingan korban harus dilakukan, bahkan untuk upaya penjemputan berdasarkan laporan yang masuk seringkali tidak mengenal waktu.
“Mau tidak mau, dengan segala keterbatasan, pendamping harus melakukan yang terbaik bagi korban,” pungkasnya. (novi))