Kondisi di perairan Desa Kawasi, salah satu kawasan eksploitasi tambang di nikel di Pulau Obi, Kabupaten Halmahera Selatan, Senin (27/3/2023). |
satumalukuID - Harita Nickel membantah tudingan terkait kerusakan lingkungan akibat operasional pertambangan di Pulau Obi, Halmahera Selatan, Maluku Utara yang berdampak menimbulkan opini tidak baik terhadap upaya pembangunan Harita Nickel di Pulau Obi.Corporate Affairs Manager Harita Nickel, Anie Rahmi dihubungi, Senin (27/3/2023), menegaskan sistem operasional penambangan PT TBP yang merupakan unit bisnis Harita Nickel senantiasa mengedepankan praktek-praktek penambangan terbaik.
Dikatakan, Harita Nickel mengacu pada Kepmen ESDM Nomor 1827 tahun 2018 tentang Pedoman Pelaksanaan Kaidah teknik Pertambangan yang Baik yakni dimulai dari pembersihan lahan, pengupasan tanah pucuk, pemindahan tanah penutup, pengambilan bijih limonit untuk diolah dipabrik HPAL dengan teknologi hidrometalurgi, pengambilan bijih saprolit untuk diolah dengan teknologi pyrometalurgi, penutupan lubang tambang, reklamasi dan revegetasi.
"Kamilah perusahaan yang pertama kali melakukan konservasi mineral yang artinya mengurangi sisa batuan untuk dimanfaatkan sebagai sumberdaya mineral untuk bahan baku baterai mobil listrik," kata Anie.
Terkait masalah pencaplokan lahan warga yang dituduhkan, dapat disampaikan bahwa seluruh area Harita Nickel di Pulau Obi yang telah beroperasi saat ini berada dalam Kawasan Hutan, baik Hutan Produksi (HP) maupun Hutan Produksi Konversi (HPK) dan Harita memegang Ijin Pinjam Pakai Kawasan Hutan (PPKH) atas setiap bukaan lahan. Masyarakat yang telah menggarap, diberikan tali asih untuk lahan juga ganti rugi tanam tumbuh (GRTT) sesuai dengan keputusan Pemda Kabupaten Halmahera Selatan.
"Tentunya, tidak benar apa yang dituduhkan bahwa perusahaan menguasai lahan melalui tindakan represif juga intimidasi ke warga, tetapi melalui proses yang transparan dan pembayaran yang menguntungkan bagi masyarakat," kata Anie.
Pernyataan bahwa hampir seluruh sumber air warga Kawasi telah tercemar akibat sedimentasi ore nikel dari operasi perusahaan sungguh menyesatkan. Anie menegaskan tidak ada pembuangan ore nikel ke sumber air warga Kawasi yang menyebabkan sedimentasi. Selama ini PT TBP menempatkan sisa hasil pengolahan nikel ke lubang bekas penambangan (Dry Stack). Dry Stack dianggap sebagai metode yang aman dan ramah lingkungan serta memenuhi standar nasional dan internasional.
"Tidak ada pembuangan limbah pabrik ke aliran Sungai Todoku dan Sungai Akelemo. Perusahaan selalu bersikap taat aturan dalam pengelolaan dan pemantauan lingkungan,” tegas Anie. Sisa hasil pengolahan tidak ditempatkan di Sungai Toduku maupun Sungai Akelamo, namun di lahan bekas tambang (mine out) dalam bentuk dry tailings sesuai dengan Persetujuan Teknis dan Surat Kelayakan Operasional (SLO) dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK)," ujarnya.
Di menyebut, perusahaan memulai operasi pada 2010, perusahaan telah mengantongi izin lingkungan dan izin pengelolaan lingkungan hidup dari pemerintah. Kemudian pada 17 November 2020 pemerintah telah menetapkan Harita Nickel sebagai proyek strategis nasional.
"Kami juga telah memiliki izin-izin serta persetujuan teknis dari pemerintah untuk pengelolaan sisa hasil proses atau limbah, di mana sisa hasil proses ini dikelola terlebih dahulu, dan dilepaskan ke lingkungan dengan memenuhi baku mutu yang ditetapkan, dan dilaporkan berkala ke pemerintah, " kata Anie.
Bahkan, selama beroperasi, pengelolaan limbah perusahaan selalu mendapat inspeksi dan pengawasan berkala baik dari pemerintah pusat, provinsi, maupun kabupaten. Instansi pemerintah terkait lingkungan hidup dan pertambangan juga melakukan inspeksi dan pengawasan baik dari tingkat pusat, provinsi dan kabupaten atas kegiatan pelaksanaan pemantauan dan pengelolaan lingkungan hidup kami. Adanya pernyataan bahwa pipa-pipa pembuangan limbah dari aktivitas eksplorasi perusahaan diduga mengarah ke laut, menyebabkan ekosistem dan ikan-ikan rentan tercemar logam berat.
"Ini juga sangat menyesatkan. Tidak ada pipa eksplorasi ke laut," kata Anie.
Sebelumnya, Dinas Lingkungan Hidup (DLH) Malut akan tetap melakukan pemantauan dan evaluasi terhadap dampak pencemaran lingkungan terhadap aktivitas perusahaan tambang yang beroperasi di daerah ini.
Kabid Pengendalian Pencemaran Lingkungan Hidup DLH Malut, Yusra Hi Noho mengakui, pihaknya akan terus memantau aktivitas 109 izin usaha pertambangan di Malut, terutama dalam mengatasi dampak akibat pencemaran lingkungan," kata kepada ANTARA, Jumat
Yusra menyatakan, dari berbagai hasil evaluasi dan memonitor di lapangan, DLH mengakui jika PT Harita Grup merupakan perusahaan yang paling baik dalam pengelolaan lingkungan. Tidak hanya itu, segala rekomendasi yang bersifat memperbaiki, selalu ditanggapi secara positif. Semoga hal ini terus ditingkatkan.
Menurut dia, untuk dokumen Amdal mulai dari pengelolaan limbah, tentunya DLH memiliki kewenangan untuk melakukan pembinaan terhadap seluruh aktivitas perusahaan di Malut.
Sehingga, DLH menyimpulkan, PT Harita Grup yang beroperasi di Pulau Obi, Halmahera Selatan memiliki komitmen dalam pengelolaan lingkungan, bahkan air limbah B3 yang dihasilkan dari restoran dikelola dan pengelolaannya bekerjasama dengan pihak ketiga untuk di bawa ke Bogor.
Sementara itu, Koordinator Jaringan Anti Tambang (JATAM), Melky Nahar dalam rilies yang diterima mengatakan, masa penawaran awal saham Trimegah Bangun Persada (NCKL) dimulai pada 15 Maret 2023 dan berakhir pada hari ini.
Kemudian dilanjutkan pada masa penawaran umum saham yang dijadwalkan pada 5-10 April 2023 dan pencatatan (listing) di Bursa Efek Indonesia pada 12 April 2023. Gelontoran dana segar hingga Rp 15,1 triliun dari IPO ini akan digunakan untuk mempercepat proses produksi guna meraih keuntungan berlipat-ganda.
Upaya Harita Group mengumpulkan tambahan modal yang begitu besar ini, tentu tidak lepas dari rencana pembangunan pabrik pengolahan nikel yang kedua di Pulau Obi. Saat ini, PT TBP sudah memiliki satu pabrik pengolahan nikel di Desa Kawasi, Pulau Obi, dengan menggunakan proses High Pressure Acid Leaching, yakni PT Halmahera Persada Lygend, hasil kerja sama dengan perusahaan asal China, Lygend.
Menurut dia, ekstraksi nikel yang dilakukan perusahaan-perusahaan di bawah Harita Group telah meninggalkan daya rusak yang panjang, tak dipulihkan.
Mulai dari pembukaan lahan skala besar, mencemari air, udara, dan laut yang berdampak pada terganggunya kesehatan warga dan ekosistem, membongkar kawasan hutan yang memicu deforestasi, hingga kekerasan beruntun terhadap warga lokal.
Operasional industri tambang dan smelter nikel – dimana seluruh suplai energi listriknya bersumber dari batubara, juga telah memicu pembongkaran pulau-pulau lain yang kaya akan batubara. Setiap pulau dipaksa untuk saling memangsa. (Abdul Fatah/ant)