SATUMALUKU.ID -- Gereja Santa Maria Bunda Allah, yang dikenal sebagai "Gereja Batu," di Desa Amdasa, Kecamatan Wertamrian, Kabupaten Kepulauan Tanimbar, Maluku, secara resmi digunakan setelah diberkati oleh Uskup Diosis Amboina, Mgr. Seno Ngutra, dan diresmikan oleh Penjabat Bupati Kepulauan Tanimbar, Alawiyah Fadlun Alaydrus, pada Sabtu (28/12).
Peresmian ini disambut hangat oleh lebih dari 3.000 warga, tokoh masyarakat, serta pejabat daerah yang hadir dalam acara tersebut.
Dalam sambutannya, Penjabat Bupati Alawiyah menekankan gereja ini adalah simbol persatuan dalam keberagaman, toleransi, dan penghormatan antarumat.
Ketua Panitia Pembangunan Gereja, Edoardus Enrico F. Refwalu, menyampaikan rasa terima kasih kepada seluruh pihak yang telah berkontribusi dalam pembangunan gereja.
“Gedung gereja ini adalah simbol doa dan kerja keras yang telah kami lakukan bersama,” katanya.
Dalam sambutannya, Alawiyah menegaskan bahwa gereja tidak hanya berfungsi sebagai tempat ibadah tetapi juga sebagai pusat pembinaan rohani, pendidikan, dan pelayanan sosial.
“Semoga gereja ini mampu membangun moral, etika, serta keimanan umat yang taat pada norma keagamaan, hukum, dan sosial,” ujarnya.
Pesan Perdamaian dan Harapan
Uskup Mgr. Seno Ngutra dalam Misa Dedikasi Gedung Gereja mengajak umat untuk menjadikan gereja sebagai tempat kasih dan kedamaian.
“Meskipun gereja ini tersusun dari batu mati, umat adalah batu hidup yang menjadi pondasi persatuan, cinta, dan pengampunan,” tuturnya.
Gereja Santa Maria Bunda Allah dirancang berbentuk salib dengan arsitektur vernakular yang memadukan elemen tradisional dan modern.
Bangunan seluas 1.000 meter persegi ini berdiri di atas lahan 3.100 meter persegi, dengan ketinggian mencapai 13 meter.
Sebuah patung Santa Maria setinggi 3 meter menjadi daya tarik utama di depan gereja, melambangkan berkat dan harapan.
Pembangunan gereja ini mencerminkan semangat gotong royong masyarakat Amdasa, dengan kontribusi besar dari relawan Jakarta, masyarakat setempat, dan donatur.
Material bangunan seperti kayu dan batu lokal dikumpulkan secara sukarela oleh warga, menegaskan nilai kebersamaan dalam proses pembangunannya.
Desa Amdasa, dengan populasi sekitar 775 jiwa, mayoritas bekerja sebagai petani dan nelayan. Kehadiran Gereja Batu diharapkan menjadi pusat kegiatan rohani, sosial, dan budaya, sekaligus menjadi tujuan wisata rohani bagi umat Katolik di Indonesia.
Peresmian gereja ini menjadi tonggak baru bagi masyarakat Desa Amdasa, menandai harapan akan kehidupan yang lebih damai, harmonis, dan penuh berkah di masa mendatang. (Mars)