Perjuangan Maluku dalam Pengembangan Sektor Pertanian dan Perikanan Tersendat

Share:


SATUMALUKU.ID
--Sebanyak lima daerah di Provinsi Maluku yang sebelumnya telah masuk dalam daftar penerima Dana Alokasi Khusus (DAK), akhirnya dibatalkan. 

Pembatalan ini tentu menjadi kekecewaan tersendiri, mengingat kebutuhan pembangunan infrastruktur, seperti jalan usaha tani, sangat mendesak untuk mendukung produksi di sektor pertanian dan perkebunan.

Usulan pembangunan jalan usaha tani merupakan kebutuhan nyata di wilayah pertanian dan perkebunan di Maluku. 

Jalan ini berperan penting sebagai akses transportasi produksi dari lahan ke pasar. Selain itu, perjuangan agar pemerintah memberikan perhatian terhadap komoditi unggulan Maluku seperti cengkih, pala, dan kelapa juga terus dilakukan. 

Hal ini menjadi penting, mengingat saat ini Presiden Prabowo Subianto lebih memfokuskan perhatian pada komoditi beras dan jagung.

"Kami memberikan catatan kritis, mengapa hanya beras dan jagung yang menjadi fokus, padahal ada komoditi lain yang tak kalah penting," ujar Anggota Komisi IV DPR RI, Saadiah Uluputy, di Ambon, Senin (15/4/2025).

Menurutnya, pemerintah menyampaikan bahwa program dua tahun pertama memang difokuskan pada beras dan jagung.

Di sisi lain, kebutuhan beras di Maluku hampir mencapai 50.000 kg, sementara hasil produksi baru menyentuh angka 49.600 kg. 

Ini menunjukkan bahwa Maluku hampir mencapai swasembada, namun tetap memerlukan perhatian serius agar dapat menyusul provinsi lain yang telah mencapainya. 

Maka, daerah-daerah yang memiliki potensi optimalisasi lahan pangan perlu masuk dalam prioritas program nasional.

Untuk memperkuat hal tersebut, Komisi IV DPR RI telah mengundang Menteri Pertanian untuk berkunjung langsung ke Pulau Buru dan Seram, guna melihat secara nyata potensi dan kendala yang dihadapi petani di lapangan.

Sementara itu, di bidang perikanan, terdapat tantangan tersendiri dalam hal regulasi bagi hasil. Berdasarkan UU RI Nomor 32 Tahun 2014, pengelolaan laut hingga 12 mil merupakan kewenangan daerah, sementara di atasnya menjadi kewenangan pusat. 

Akibatnya, Maluku sebagai daerah penghasil justru hanya menerima porsi hasil yang sangat kecil, bahkan sering kali tidak mendapatkan bagi hasil sama sekali.

Untuk wilayah perairan di atas 12 mil laut seperti WPP 714, 716, dan 718, hasil tangkapan dibagi dengan skema 20 persen untuk pemerintah dan 80 persen untuk daerah. 

Namun ironisnya, porsi 80 persen tersebut tidak langsung diberikan kepada daerah penghasil, melainkan dibagi rata ke seluruh kabupaten di Indonesia.

"Anehnya, pembagian ini justru tidak menguntungkan daerah penghasil seperti Maluku. Padahal kapal-kapal yang beroperasi di wilayah kami membawa dampak kerusakan laut, tapi kami tidak mendapatkan kompensasi atau dispensasi apa pun," tegasnya. 

Ia menambahkan, selama regulasi ini tetap berlaku, maka daerah penghasil akan terus dirugikan. (Tyo)

Share:
Komentar

Berita Terkini